Selamat bergabung bersama saya dalam blog ini. Silahkan kemukakan segala isi di pikiran dan nikmati kebebasan.

Rabu, 07 Juli 2010

Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Di Bali

Bantuan hukum di dalam proses mencari keadilan adalah hal yang penting demi terciptanya keadilan di masyarakat. Seiring dengan adanya reformasi di bidang hukum, bantuan hukum dipandang sebagai salah satu faktor penting dalam penegakan hukum, terutama di bidang acces to justice dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat terutama masyarakat miskin. Tetapi setelah hampir lebih dari 10 (sepuluh) tahun era reformasi bergulir, bantuan hukum cuma-cuma masih belum bisa dirasakan oleh masyarakat miskin di Bali sepenuhnya yang tidak mempunyai biaya untuk bisa membela diri apabila berperkara atau berhadapan dengan hukum.
Bantuan hukum adalah hak dari bagian proses peradilan yang adil dalam prinsip di Indonesia yang merupakan negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen dan merupakan salah satu prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang dituangkan dalam Pasal 16 dan Pasal 26 Internatinonal Convenant On Civil And Political Right (ICCPR) mengenai hak atas perlindungan hukum serta dihindarkan atas diskriminasi atas bentuk apapun. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) menjamin Hak atas bantuan hukum dan hak atas advokat (right to councel) dan memerintahkan negara untuk menyediakan advokat untuk memberikan bantuan hukum. Dalam Undang-Undang dasar 1945 Amandemen pasal 27 dan pasal 28 ayat (1) diatur tentang persamaan dalam hukum (equality before the law). Yang dalam peraturan perundang-undangan nasional hak atas bantuan hukum diatur dalam pasal 17, 18, 19 dan 34 UU No. 39/1999 tentang HAM dan Hak untuk mendapat bantuan hukum dan hak terdakwa terdapat dengan jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni pasal 18, 21, 54, 55, 56, 144, 155, 117, dan 118 KUHAP. Namun sederet peraturan hukum tersebut tidak menjamin bagi masyarakat kaum marginal untuk bisa mendapat bantuan hukum yang adil.
Bantuan hukum yang diharapkan oleh masyarakat bukan hanya masalah pembelaan saja. Tetapi juga masalah betapa mahalnya biaya untuk mencari keadilan di pengadilan. Seseorang harus memiliki modal terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala sesuatu agar bisa mengajukan alat bukti, adrimistrasi, dan data lainnya yang akan dipergunakan di pengadilan, misalnya biaya materai untuk surat kuasa, biaya pengesahan (legalisir), biaya transportasi, biaya komunikasi, biaya komsumsi dan biaya lainnya. Biaya-biaya seperti itu, bukan saja masalah bagi pihak yang memiliki masalah tetapi juga masalah bagi pemberi bantuan hukum yang tidak mempunyai dana untuk itu.
Di dalam KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHA Perdata) dikenal adanya pembebasan pembayaran pendaftaran perkara di Pengadilan bagi orang yang terbukti miskin yang punya kasus perdata yang dikelanal dengan prosedur prodeo. Dalam prakteknya, prosedur prodeo ini hanya sering dilakukan di kasus pidana, itu pun bantuan hukum yang dilakukan lebih sering diberikan apabila sudah di persidangan, padahal semestinya bantuan hukum telah diberikan dari awal pada saat yang bersangkutan berperkara. Sedangkan di kasus perdata, prosedur prodeo ini sangat langka bahkan “hampir punah” karena tidak pernah diterapkan oleh pengadilan baik negeri ataupun agama.
Memang masyarakat miskin sangat terbantu dengan prosedur prodeo ini, tetapi prosedur prodeo ini hanya berlaku di pengadilan. Sedangkan biaya yang diperlukan bukan hanya biaya adrimistrasi dan ongkos pendaftaran saja. Masih ada biaya-biaya yang lain diluar pengadilan, seperti biaya surat kuasa, pengesahan dan lainnya. Biaya-biaya tersebut menjadi hambatan dalam mencari keadilan di pengadilan. Pemberi bantuan hukum kalau memberi bantuan hukum demi masyarakat miskin harus “mengorek kantongnya” sendiri untuk membantu. Bagaimana dengan Kantor Pos yang akan melakukan legalisir alat bukti, maukah mereka melegalisir secara gratis?, sudahkah ada aturan untuk mengratiskan legalisir untuk bantuan hukum cuma-cuma, agar tidak kalau membantu penggratisan legalisir dikatakan korupsi, karena tidak ada atau bukan anggarannya.
Menyikapi hasil diskusi komunitas mengenai penggalangan dukungan dalam pembentukan RUU KUHAP yang diselenggarakan YLBHI-LBH Bali bersama Ikatan Korban Napza (IKON) bulan Januari 2010 lalu, yang ternyata ditemukan fakta bahwa masyarakat kurang mendapat perhatian dalam pemberian bantuan hukum terutama oleh aparat penegak hukum maka sangat diperlukan adanya diskusi lebih lanjut mengenai hal ini agar aspirasi dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat miskin dapat terjembatani. Hal ini menjadi cerminan yang nyata betapa jauhnya masyarakat miskin dari keadilan.
Keinginan kaum marginal untuk mendapat bantuan hukum sangat besar, hal ini dikarenakan keadilan yang didapatkan di pengadilan sering kali tidak didapatkan oleh karena pengetahuan mereka tentang hukum sangatlah kurang. Maka sangatlah penting bantuan hukum bagi kaum marginal mengingat perjuangan untuk melawan praktek mafia peradilan yang kini dikumandangkan demi menciptakan peradilan yang bersih. Dan perlu bantuan segala pihak untuk merealisasikan termasuk pemerintah daerah.
Keinginan mendapatkan bantuan hukum bagi kaum miskin sebenarnya berusaha diakomadir oleh pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma. Dengan adanya PP tersebut seharusnya bantuan hukum lebih mudah diakses oleh masyarakat miskin, tetapi dalam implementasi PP tersebut ternyata masyarakat belum sepenuhnya merasakan bantuan hukum cuma-cuma yang diharapkan serta faktanya juga tidak terlalu berpengaruh dengan akses untuk memperoleh keadilan dalam proses peradilan. Hal ini berarti, tujuan dibentuknya PP tersebut belum sepenuhnya tercapai. Hal ini dikarenakan PP tersebut tidak terlalu diterapkan di daerah. Sehingga diperlukan adanya kemauan politik dari pemerintah daerah untuk segera memperhatikan dan memberikan bantuan dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma bagi masyarakat miskin.
Dengan demikian, bantuan dari pemerintah daerah, pemerintah kabupaten atau pihak penyandang dana lainnya untuk membantu penyelesaian masalah implementasi bantuan hukum cuma-cuma di Bali sangat diperlukan dengan cara menyediakan advokat khusus pemberi bantuan hukum cuma-cuma atau menyediakan anggaran untuk bantuan hukum cuma-cuma kemudian menghibahkannya ke pihak yang berkompeten atau yang lainnya demi kepentingan keadilan bagi masyarakat mengingat keadilan dalan proses peradilan bagi masyarakat miskin wajib dipenuhi oleh pemerintah sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

(dimuat di bali express, tgl 7 Juli 2010)

Selasa, 15 Juni 2010

MEMBERANTAS “MAFIA” DI KOMUNITAS “BUAYA”

Keterangan yang disampaikan Susno Djuaji, ketika mengadakan jumpa pers mengenai makelar kasus yang melibatkan petinggi Kepolisian Republik Indonesia dengan dengan institusi Pajak menyebabkan kembali negeri kita disuguhkan reality show tentang wacana pemberantasan mafia hukum di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Bahkan Susno Djuaji sekarang dihadapkan pada pelanggaran kode etik kepolisian akibat dari “nyanyiannya” tersebut. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum-pun seakan diberikan peluang besar untuk mendalami dan mengungkap mafia hukum di POLRI sampai Tim Independen yang telah dibentuk siap mengungkap mafia hukum di Kepolisian yang sebenarnya.
Kalau mengingat kasus cicak vs buaya terdahulu, POLRI dengan lantang mengatakan bahwa tidak ada mafia hukum di POLRI. Bahkan dapat dikatakan dengan santainya Kepolisian mengatasi permasalahan tersebut hanya dengan membela diri dan menjernihkan suasana melalui upaya memberhentikan secara hormat Susno Djuaji, sang pelopor sebutan “buaya” bagi Kepolisian sebagai KABARESKRIM kala itu. Bisa saja ini merupakan cara-cara pengalihan pandangan dari Kepolisian dahulu untuk menutupi oknum mafia hukum di tubuh Kepolisian yang turut serta membentuk sebuah rekayasa kasus yang melibatkan oknum petinggi POLRI dengan makelar kasus dari luar institusi POLRI. Kasus cicak vs buaya dapat diredam dengan meninggalkan sisa-sisa pertanyaan dalam hati berupa sampai kapan POLRI akan menyembunyikan diri dari praktek mafia peradilan yang dilakukan oleh oknum-nya?.
Mungkin Susno bukanlah pahlawan atau mungkin Susno sedang melakukan ajang balas dendam dengan membuka aib Kepolisian Repulik Indonesia akibat ia diberhentikan sebagai KABARESKRIM. Dan sebagian masyarakat pastinya mengetahui sakit hati Susno sebagai seorang jendral bintang tiga namun tidak mempunyai kekuasaan, bahkan dengan begitu mudahnya pula ia dipaksa untuk tidak melakukan perjalanan keluar negeri tanpa ijin setelah beliau tidak menjabat sebagai KABARESKRIM. Namun dari pernyataan-pernyataan yang diucapkannya dapat dicerna dan dimaknai beberapa hal yakni pertama; bahwa terdapat manusia seperti Susno Djuaji yang dapat keluar dari lingkaran setan mafia hukum di KEPOLISIAN.. Walaupun Susno Djuaji bisa saja dikatakan tidak iklas melepas jabatan KABARESKRIM tetapi ia telah membuktikan kepada masyarakat bahwa dengan adanya pernyataan dari seorang Susno yang demikian maka sebenarnya di tubuh POLRI masih ada “buaya” yang baik yang patut ditiru oleh “buaya” yang lain. Kedua, bahwa dengan pernyataan Susno Djuaji tersebut, Kepolisian mau tidak mau harus memproses segala hal yang menyangkut pernyataan tersebut, sehingga upaya menutup diri seperti yang dilakukan pada saat kasus cicak vs buaya tidak sampai dilakukan. Dan yang ketiga adalah dengan pernyataan Susno tersebut, terdapat suatu fakta bahwa ada “mafia” di komunitas “buaya”.
Memang kasus makelar kasus di tubuh POLRI ini masih terus bergulir dan masih dalam proses untuk bisa dibuktikan. Mengingat kasus mafia hukum ini melibatkan tidak hanya institusi POLRI tetapi juga Direktorat Jendral Pajak, pengacara, individu, jaksa dan hakim. Bisa dibayangkan betapa buruknya peradilan di Indonesia dengan melihat kenyataan bahwa hampir semua unsur penegak hukum terlibat di dalamnya. Dan hasilnya adalah uang negara yang jumlahnya milyaran rupiah terkorupsi, digunakan untuk kepentingan pribadi padahal dengan uang satu milyar saja dapat membantu masyarakat miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya di dalam 1 Provinsi dalam jangka waktu sepuluh tahun.
Namun, harus diingat dan diwaspadai juga bahwa sekarang ini reality show penanganan mafia hukum di tubuh POLRI sedang dimainkan dan disutradarai oleh para “buaya” juga. Hal ini dikarenakan hanya Kepolisian-lah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan dan kewenangan lainnya, yang secara legitimasi telah mendapat kewenangan tersebut dari Undang-Undang. Jadi jangan tertawa atau marah melihat Satgas Pemberantasan Mafia Hukum hanya bisa berkomentar dan temuannya hanya bersifat rekomendasi saja. Kalau keterangan Susno bisa mengungkap keberadaan mafia hukum di Kepolisian, walaupun ia bisa mengadu ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum maka hasil pengaduan tersebut dapat dilihat berupa adanya pelanggaran kode etik, melebar ke Gayus Tambunan, lalu Ditjen Pajak, lalu menemukan Markelar Kasusnya, melakukan konfrontasi dengan keterangan Susno, kemudian pemeriksaan Jaksa dan terakhir memeriksa para Hakim yang menangani kasus Gayus. Tetapi sampai sekarang para jendral di tubuh institusi POLRI yang diduga ikut terlibat hanya berstatus sebagai terperiksa.
Kepolisian sekarang ini memang masih berusaha untuk menutupi keberadaan mafia di tubuhnya. Dan sangat telah berhasil, hal ini bisa dilihat dari kurangnya pemberitaan mengenai para oknum yang diduga terlibat dalam kasus pajak ini. Kalau saja hal ini masih terjadi dimana media juga terkecoh dan masyarakat tidak bisa lagi memantau mafia hukum di tubuh POLRI maka bisa saja masyarakat akan mulai jenuh dengan reality show ini. Peran media juga sangat penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Tetapi kalau masih saja media telah beralih pada berita yang bukan pokok seperti membahas keseharian Susno, kehidupan keluarga Gayus dan lainnya, hal yang ditakutkan adalah hilangnya pengawasan dari seluruh komponen masyarakat dalam rangka pemberantasan mafia hukum khususnya di tubuh POLRI.
Pemantauan dari segala pihak sangatlah penting agar oknum POLRI yang terlibat mafia hukum tidak bisa lepas dari jeratan hukum. Perlu diingat bahwa ketika kasus cicak vs buaya dulu terjadi, Susno Djuaji yang ketika itu diduga terlibat dalam rekayasa kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya mendapat “hukuman” berupa pemberhentian sebagai KABARESKRIM MABES POLRI. Padahal apabila masyarakat memantau dan tidak lengah dengan pengalihan isu ke Anggodo Wijoyo, seharusnya Susno Djuaji kala itu juga ikut diperiksa. Maka sebaiknya sekarang ini, seluruh masyarakat ikut memantau proses yang dilakukan kepada oknum Kepolisian yang diduga terlibat, jangan sampai teralihkan lagi ke pihak yang lain seperti “SJ, GT, AK, HG” yang hanya menyebabkan “mafia” di tubuh POLRI hanya sebagai terperiksa atau akhir-akhirnya hanya hukuman Non-Aktif saja. Pemantauan terus kepada Oknum POLRI yang terlibat dilakukan agar menjaga keprofesionalan Penyidik POLRI, dan demi membangun kembali citra POLRI di masyarakat.
Demi terciptanya keadilan dalam proses peradilan maka praktek mafia hukum atau mafia peradilan harus diberantas untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan tentunya sebagai salah satu penegak hukum, Kepolisian juga wajib bersih dari praktek mafia hukum.Untuk itu, seluruh pihak harus bersama-sama memberi andil dalam memerarangi ”mafia” di komunitas ”buaya” ini. Disamping mereformasi sistem di Kepolisian, karena bagaimanapun Kepolisian memerlukan perbaikan baik secara peraturan perundang-undangan (substansi), aparat atau pelaku atau aktor (struktur), serta budaya atau kesadaran masyarakat (kultur) dengan menggunakan prinsip-prinsip good governance. Reformasi sistem ini harus dilakukan agar dapat menciptakan lembaga hukum yang benar-benar berjuang demi tegaknya supremasi hukum.

Minggu, 21 Februari 2010

MEMPROTES KOMERSIALISASI BINATANG

Siang hari yang suntuk, Jumat, tgl 12 Februari 2010
Rencana didatangkannya 50 ekor gajah ke Bali membuat pusing Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika. Serupa dengan kasus komodo tahun lalu , masuknya gajah juga mendapat penolakan dari masyarakat karena dianggap hanya menguntungkan beberapa orang saja dan tidak akan berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Bali. Tentunya gajah-gajah itu yang konon telah mendapat ijin masuk ke Bali akan membuat masalah baru bagi pecinta lingkungan dan binatang.
Dalam sejarahnya, Pulau Bali tidaklah terlalu identik dengan binatang yang satu ini. Semakin banyaknya orang ingin tahu tentang binatang besar ini, membuat para pengelola kebun binatang bersemangat untuk mendatangkannya. Untuk itulah pengembangan Pulau Bali ke arah visit zoo, membuat wacana mendatangkan gajah semakin keras dan ingin dilakukan segera.
Memang pemerintah sekarang telah terjangkit yang namanya penyakit komersialisasi, bahkan untuk segala aspek kehidupan. Bukan hanya pantai, perumahan, pinggiran sungai, gunung, danau dan lainnya yang memang dari dulu di komersialisasi untuk bisa mendapat pajak dan pendapat daerah, kini binatang yang tidak kenal Bali pun ikut di komersialisasikan. Dulu, kalau komodo dapat di mentahkan, kini giliran gajah yang diajukan semata-mata untuk dijual agar dapat uang dan menguntungkan para pengelola kebun bnatang atau yang menerima pajak dari itu. Hal yang sangat ironis memang, dikala masyarakat Bali memerlukan tempat untuk tinggal dan makan dan bersaing dengan gajah yang ikut tinggal dan makan di Bali hanya demi mendapatkan uang.
Inilah bentuk keserakahan manusia yang tidak ada putus-putusnya tidak cukup dengan binatang yang ada, maka akan menambah gajah lagi. Gajah memang binatang yang menyenangkan, di kalangan orang Bali pun mempunyai nilai relegius sebagai perwujudan Sang Hyang Ghanesa. Kalau dimanfaatkan untuk meraup keuntungan (komersialisasi) maka akankah masyarakat bali akan merasa direndahkan dengan hal ini, seperti tdak bisa menjaga Binatang terbaik mereka. Akan sangat sulit dibayangkan, apabila masih ingin diteruskan keinginan ini.
Menghadapi masalah ini, seharusnya lebih dilihat secara lebih arif dan bijaksana. Kalau melihat dari sisi hukum, dengan adanya ijin Pemerintah maka kapan saja binatang ini bisa masuk ke Bali. Tetapi gajah adalah binatang yang luar biasa yang tidak bisa diatur hanya dengan surat ijin saja, perlu penelitian yang lebih lanjut mengenai perlu tidaknya, bisa atau enggak gajah Hidup di bali. Serta dengan penelitian tersebut, diyakini didapat keputusan yang menguntungkan manusia dan gajah tanpa hanya ingin meraup keuntungan semata.

Jumat, 15 Januari 2010


PLURALISME SETELAH WAFATNYA GUS DUR
Oleh
I Made Somya Putra

Tanggal 30 Desember 2009, tepatnya pada pukul 18.45 WIB, bangsa Indonesia dikejutkan dengan telah berpulangnya KH. Abdulrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut Dokter yang menanganinya, wafatnya Gus Dur disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Hal ini tentunya membuat rasa kehilangan bagi keluarga, dan segenap bangsa Indonesia pada umumnya. Seluruh elemen Bangsa berduka, baik dari warga NU, pejabat, tokoh politik, agamawan, dan lainnya merasa kehilangan yang amat mendalam atas kepergian alm. Gus Dur.
Dalam pidato pelepasan jenasah alm. Gus Dur, Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono menyebut beliau sebagi bapak pluralisme Indonesia. Begitu banyak jasa-jasa beliau dalam menjaga Kebhinekaan di Indonesia, beliau juga terkenal sebagai pembela sejati kaum minoritas, pejuang hak asasi manusia, pemikir agama yang dijadikan guru dan panutan bagi pengikutnya. Bagi warga keturunan Tionghoa beliaulah amat berjasa dalam melindungi keberadaan warga tionghoa setelah sekian lama mendapat diskriminasi. Sebagai presiden pada awal reformasi, alm. Gus Dur merupakan sosok yang penting dalam demokrasi, anti diskriminasi, dan penegakan HAM di Indonesia. Setelah lengser sebagai Presiden-pun beliau masih banyak memiliki jasa bagi kaum minoritas, seperti halnya pembela Jamaat Ahmadiyah, dan Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Beragama (AKKBB). Hal ini menunjukkan bahwa beliau banyak memiliki jasa dalam bidang pluralisme dan multikulturalisme.
Orang seperti alm. Gus Dur mungkin terlahir sekali dalam 1 abad. Ditengah masalah SARA yang sering mengganggu kebhinekaan Indonesia dan dapat menimbulkan disintegrasi bangsa, Gus Dur-lah satu-satunya tokoh bangsa yang nyata berjuang untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan wafatnya Gus Dur, Bangsa Indonesia mempunyai masalah yang amat besar yaitu, siapakah tokoh yang akan menjadi pejuang Pluralis, pelindung kaum minoritas dan agamawan yang dipuja oleh pengikutnya?. Hal ini mengingat Indonesia adalah bangsa dengan penuh keberagaman dan majemuk sehingga memerlukan tokoh pemersatu yang disegani dan dipercaya untuk memimpin bangsa.
Indonesia adalah Negara yang sangat memiliki banyak pulau yang didalamnya terdapat banyak keberagaman. Dengan keberagaman itu sendiri, terkadang menimbulkan masalah bagi masyarakat, seperti halnya kasus ahmadiyah, AKKBB, kasus pengerusakan tempat ibadah atau toleransi umat beragama. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang masih dapat dipendam Gus Dur, tetapi setelah wafatnya Gus Dur masalah seperti ini pasti akan timbul kembali, dan diperlukan tokoh yang dapat meredam masalah-masalah pluralisme seperti ini. Alm. Gus Dur begitu paham dengan keadaan bangsa sehingga beliau begitu gigih dalam memperjuanggakan persatuan dan kesatuan bangsa, oleh karena itu hendaknya sebagai generasi penerus bangsa kita semua berkewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta melanjutkan perjuangan beliau yang tidak membedakan suku, Ras, agama dan kelompok. Suatu catatan penting bagi kita bahwa dengan wafatnya Alm. Gus Dur maka Kebhinekaan dapat menjadi bibit perpecahan bangsa dan tugas kita untuk menemukan tokoh nasional seperti beliau, serta melanjutkan perjuangan beliau menjadi pejuang pluralisme dan multikulturalisme.

Rabu, 13 Januari 2010

KPK VS POLRI : Menuju Reformasi Sistem.

Indonesia telah mengalami cobaan dalam bidang hukum dan berkembang menjadi permasalahan politik menyangkut kasus yang melibatkan 2 (dua) institusi yang berwenang dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Sehingga memaksa Presiden membentuk Tim Pencari Fakta atau yang disebut dngan Tim 8 demi mengungkap kebenaran tentang adanya rekayasa kriminalisasi KPK oleh POLRI. Opini publik berkembang luas yang menyebabkan seolah-olah adanya perang KPK dan Kepolisian atau yang lebih terkenal dengan Cicak vs Buaya.
Dimulai dari adanya kasus dana Bank Century yang disinyalir oleh KPK terdapat keterlibatan pengusaha dan oknum POLRI yang ikut menikmati hasil korupsi dari dana bank century tersebut. Kemudian, POLRI atas dasar adanya testimoni dari Antasari yang memberikan kesaksian bahwa ada petinggi KPK yang menerima suap, POLRI melakukan pemeriksaan, dan atas pemeriksaan tersebut POLRI menjadikan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai tersangka. Tetapi hal ini semakin ramai dan menjadi berita besar setelah disiarkannya hasil rekaman KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperlihatkan adanya rekayasa kriminalisasi KPK. Dan dimulailah penggunaan wewenang yang dimiliki masing-masing lembaga hukum tersebut untuk menjerat pimpinan lembaga hukum lainnya.
Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki, KPK dan POLRI sama-sama memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penegakan hukum. Apabila terdapat tindakan melawan hukum yang dilakukan baik oleh oknum maupun secara kolektif dilakukan pada sebuah instansi maka baik KPK dan POLRI wajib untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, demi tegaknya supremasi hukum. Namun masih terdapat kelemahan dari segi undang-undang yang terlihat masih adanya Judisial Review KPK ke MK Disamping itu, keterangan Williardi Wizard yang menyatakan adanya tekanan dari pimpinan POLRI dalam pembuatan BAP memperlihatkan masih kurang profesionalnya aparat dalam penegakan hukum, serta pengetahuan masyarakat yang kurang tentang hukum menimbulkan persepsi yang membingungkan.
Indonesia adalah Negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, untuk itu segala perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan hukum dan setiap warga Negara wajib untuk menjunjung tinggi hukum. Jadi penyelesaian masalah KPK dan POLRI juga harus dilakukan melalui jalur hukum. Apapun yang didalilkan baik oleh KPK dan POLRI harus dibuktikan di Pengadilan dan Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum tertinggi wajib untuk memimpin peradilan secara adil. Semua kalangan (LSM, ORMAS, Pemerintah, dan lainnya) harus ikut melakukan pengawasan dan pengawalan dalam pengadilan ini. Sehingga pada akhirnya dapat dilihat mana yang benar dan yang salah.
Kemudian, agar sengketa antar lembaga hukum ini tidak terjadi lagi maka harus dilakukan adanya reformasi sistem baik di KPK maupun Kepolisian, karena bagaimanapun KPK dan Kepolisian memerlukan perbaikan baik secara peraturan perundang-undangan (substansi), aparat atau pelaku atau aktor (struktur), serta budaya atau kesadaran masyarakat (kultur) dengan menggunakan prinsip-prinsip good governance. Reformasi sistem ini harus dilakukan agar dapat menciptakan lembaga hukum yang benar-benar berjuang demi tegaknya supremasi hukum.